Bab 3
Konsep Kebudayaan
1. Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan adalah hasil karya manusia dalam usahanya mempertahankan hidup,
mengembangkan keturunan dan meningkatkan taraf kesejahteraan dengan segala
keterbatasan kelengkapan jasmaninya serta sumber- sumber alam yang ada
disekitarnya. Kebudayaan boleh dikatakan sebagai perwujudan tanggapan manusia
terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi dalam proses penyesuaian diri mereka
dengan lingkungan. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai
makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan
dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan
mendorong terwujudnya kelakuan. Dalam definisi ini, kebudayaan dilhat sebagai
"mekanisme kontrol" bagi kelakuan dan tindakan-tindakan manusia
(Geertz, 1973a), atau sebagai "pola-pola bagi kelakuan manusia"
(Keesing & Keesing, 1971). Dengan demikian kebudayaan merupakan serangkaian
aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-rencana, dan strategi-strategi,
yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang digunakan secara
kolektif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan lingkungan yang
dihadapinya (Spradley, 1972).
Kebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang
diyakini akan kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti serta
menyelimuti perasaan-perasaan dan emosi-emosi manusia serta menjadi sumber bagi
sistem penilaian sesuatu yang baik dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau
tidak, sesuatu yang bersih atau kotor, dan sebagainya. Hal ini bisa terjadi
karena kebudayaan itu diselimuti oleh nilai-nilai moral, yang sumber dari
nilai-nilai moral tersebut adalah pada pandangan hidup dan pada etos atau
sistem etika yang dipunyai oleh setiap manusia (Geertz, 1973b).
Pemahaman ini dimungkinkan oleh adanya kesanggupan
manusia untuk membaca dan memahami serta menginterpretasi secara tepat berbagai
gejala dan peristiwa yang ada dalam lingkungan kehidupan mereka. Kesanggupan
ini dimungkinkan oleh adanya kebudayaan yang berisikan model-model kognitif
yang mempunyai peranan sebagai kerangka pegangan untuk pemahaman. Dan dengan
kebudayaan ini, manusia mempunyai kesanggupan untuk mewujudkan kelakuan
tertentu sesuai dengan rangsangan-rangsangan yang ada atau yang sedang
dihadapinya.
Sebagai sebuah resep, kebudayaan
menghasilkan kelakuan dan benda-benda kebudayaan tertentu, sebagaimana yang
diperlukan sesuai dengan motivasi yang dipunyai ataupun rangsangan yang
dihadapi. Resep-resep yang ada dalam setiap kebudayaan terdiri atas serangkaian
petunjuk-petunjuk untuk mengatur, menyeleksi, dan merangkaikan simbol-simbol
yang diperlukan, sehingga simbol-simbol yang telah terseleksi itu secara
bersama-sama dan diatur sedemikian rupa diwujudkan dalam bentuk kelakuan atau
benda-benda kebudayaan sebageimana diinginkan oleh pelakunya. Di samping itu,
dalam setiap kebudayaan juga terdapat resep-resep yang antara lain berisikan
pengetahuan untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai
sesuatu dengan sebaik-baiknya, berbagai ukuran untuk menilai berbagai tujuan
hidup dan menentukan mana yang terlebih penting, berbagai cara untuk
mengidentifikasi adanya bahaya-bahaya yang mengancam dan asalnya, serta
bagaimana mengatasinya (Spradley, 1972).
Dalam pengalaman dan proses belajar manusia, sesungguhnya dia memperoleh serangkaian pengetahuan mengenai simbol-simbol. Simbol adalah segala sesuatu (benda, peristiwa, kelakuan atau tindakan manusia, ucapan) yang telah ditempeli sesuatu arti tertentu menurut kebudayaan yang bersangkutan. Simbol adalah komponen utama perwujudan kebudayaan karena setiap hal yang dilihat dan dialami oleh manusia itu sebenarnya diolah menjadi serangkaian simbol-simbol yang dimengerti oleh manusia. Sehingga Geertz (1966) menyatakan bahwa kebudayaan sebenarnya adalah suatu sistem pengetahuan yang mengorganisasi simbol-simbol. Dengan adanya simbol-simbol ini kebudayaan dapat dikembangkan karena sesuatu peristiwa atau benda dapat dipahami oleh sesama warga masyarakat hanya dengan menggunakan satu istilah saja.
Dalam setiap kebudayaan,
simbol-simbol yang ada itu cenderung untuk dibuat atau dimengerti oleh para
warganya berdasarkan atas konsep-konsep yang mempunyai arti yang tetap dalam
suatu jangka waktu tertentu. Dalam menggunakan simbol-simbol, seseorang
biasanya selalu melakukannya berdasarkan aturan-aturan untuk membentuk,
mengkombinasikan bermacam-macam simbol, dan menginterpretasikan simbol-simbol
yang dihadapi atau yang merangsangnya. Kalau serangkaian simbol-simbol itu
dilihat sebagai bahasa, maka pengetahuan ini adalah tata bahasanya. Dalam
antropologi budaya, pengetahuan ini dinamakan kode kebudayaan
2. Nilai-Nilai Luhur Bangsa
Indonesia
Melihat pengertian kebudayaan yang sedemikian luas dan kompleks, penulis
kemudian mencoba mengambil beberapa unsur dari kebudayaan kemudian dicoba untuk digunakan menjawab
berbagai tantangan yang tengah melanda bangsa Indonesia pada umumnya dan tantangan mengenai kepemimpinan pada
khususnya.
Seperti diketahui, bangsa Indonesia dan secara lebih khusus lagi masyarakat Jawa, banyak memiliki
konsep-konsep kepemimpinan dan konsep-konsep tersebut ternyata mempunyai sifat
yang sangat universal, dalam arti juga bisa digunakan sebagai panutan oleh
masyarakat manapun yang ada dibelahan bumi ini. Konsep-konsep kepemimpinan ini
merupakan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran berbentuk petuah,
nasehat, wejangan, peraturan, perintah dan semacamnya yang diwariskan secara
turun temurun melalui kebiasaan ataupun
adat istiadat tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik agar ia
benar-benar menjadi manusia yang baik dan menghindari perilaku-perilaku yang
tidak baik.
2.1
Konsep Ha-Na-Ca-Ra-Ka
Sepanjang sejarah kesusasteraan Jawa yang panjang itu, orang Jawa telah
mengenal berbagai tulisan asli. Ada suatu legenda yang menceritakan kisah
Pangeran Ajisaka yang digambarkan sebagai seorang pahlawan dari Mekah yang
berkelana melalui berbagai negara untuk membawa peradaban kepada umat manusia.
Sesampainya di pulau Jawa, yang pada waktu itu merupakan tempat tinggal para
raksasa dengan rajanya yang bernama Dewata Cengkar. Dalam perjalanan
menjelajahi Nusa Jawa, Pangeran Ajisaka menemukan dua tubuh raksasa yang telah
mati. Di tangan kedua raksasa tergenggam masing-masing sehelai daun. Di atas
kedua daun tersebut terdapat masing-masing tulisan purwa (kuno) dan tulisan
Thai. Oleh Pangeran Ajisaka kedua tulisan tersebut disatukan, dan dengan
demikian ia menciptakan abjad Jawa yang terdiri atas 20 huruf (gambar-4), yang
jika dirangkai membentuk suatu kalimat yang berbunyi: ha na ca ra ka da ta sa
wa la pa dha ja ya nya ma ga ba tha nga.
Huruf atau
Abjad Jawa
Berdasarkan othak-athik mathuk, Ki Hadjar
Dewantara berhasil menemukan rumus
mengenai kebudayaan huruf ataupun abjad Jawa ternyata terkandung ajaran budi pekerti
serta filosofi kehidupan yang sangat tinggi dan luhur. Mantan Presiden Soeharto
juga percaya akan ketinggian nilai ha-na-ca-ra-ka, sehingga ia memerintahkan
ahli-ahli bahasa Jawa untuk menyelidiki rahasianya.
Adapun makna yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
Ha, Hurip = hidup (huruf pertama merupakan huruf hidup)
Na, Legeno = telanjang bulat tidak membawa apa-apa
Ca, Cipta = pemikiran, ide ataupun kreatifitas
Ra, Rasa =
perasaan, qalbu, suara hati atau
hati nurani
Ka, Karya = bekerja atau pekerjaan.
Gambar-5
Pola Perencanaan,
Evaluasi dan Pelaksanaan Dalam Pengambilan Keputusan
4.
Dari sisi lain, konsep Ha-Na-Ca-Ra-Ka juga mangajarkan agar
manusia itu bekerja dengan cerdas (cipta), bekerja dengan ikhlas (Rasa) dan
bekerja dengan sekuat tenaga (Karya)
Da, Dodo = dada
Ta, Toto = atur
Sa, Saka = Tiang belandar, tiang penyangga
Wa, Weruh = Melihat
(huruf ini tidak konsisten dengan singkatan)
La, lakuning Urip = Makna
kehidupan.
Da-Ta-Sa-Wa-La, dadane ditoto men iso ngadeg jejeg koyo soko lan iso weruh
(mangerteni) lakuning urip. Dengarkanlah suara qalbu (nurani) yang ada didalam
dada, agar kamu bisa berdiri tegak seperti halnya tiang penyangga dan kamu juga
akan mengerti makna kehidupan yang sebenarnya.
Evaluasi masih tetap dilakukan,
apakah petunjuk itu benar datang dari
Tuhan YME yang ditangkap melalui rasa
ataupun suara hati (dodone ditoto) dan
bukan karena pikiran kita sendiri. Evaluasi secara terus menerus terhadap
pikiran, ide ataupun suara hati dan pelaksanaan kerja yang ada agar tetap terus
berada pada tangga yang benar dan lurus. Tanpa kenal putus asa, pada jalan
Tuhan yang sangat luas (iso ngadeg jejeg
koyo soko lan ngerti lelakuning urip
kang sejati = mengerti persoalan yang sebenarnya). Perilaku semacam ini akan
menimbulkan kecerdasan otak, kecerdasan emosi dan juga kecerdasan spiritual seperti Gambar-6
Gambar-6
Kecerdasan Otak, Emosi
dan Spiritual Untuk
Mengerti Persoalan
Sebenarnya
Da-Ta, dzat = dzat
Sa, Satunggal = satu, Esa
Wa, Wigati = baik (huruf ini tidak konsisten dengan
singkatan)
La, Ala = jelek
Da-Ta-Sa-Wa-La, oleh Dzat Yang Esa, manusia yang baru lahir itu juga
dilengkapi dengan sifat yang baik dan buruk
Pa-Da-Ja-Ya-Nya = sama kuat; Sifat yang baik dan buruk
itu mempunyai kekuatan yang sama, dan manusia diberi hak sepenuhnya untuk
memilih.
1.
Sifat baik ataupun buruk,
benar ataupun salah bedanya sangat tipis. Oleh karena itu kita
harus berhati-hati dalam melangkah. Disamping itu kita juga dituntut untuk bisa
melihat, apakah keberhasilan yang kita capai itu sifatnya hanya sesaat
ataukah berkelanjutan. Dengan bersandar kepada Tuhan YME, kita akan mendapat
bimbingan tentang jalan yang lurus dan
benar.
2.
Berorientasi kemasa depan, dan memiliki harapan yang
jelas serta memiliki perencanaan untuk setiap langkah yang akan dibuat sehingga
kita memiliki kesadaran penuh bahwa cara untuk meraih suatu keberhasilan tidak
bisa ditempuh dengan cara yang buruk. Siap menghadapi segala tantangan dan siap
menghadapi segala keberhasilan ataupun kegagalan. Bermental baja karena kita
telah memiliki suatu “kemenangan abadi” yang sangat kuat, bersifat mandiri.
Ma, Suksma = suksma, ruh, nyawa
Ga, Raga = badan, jasmani
Ba-Ta, batang = mayat
Nga, Lungo = pergi
1.
Ma-Ga-Ba-Ta-Nga, Selama suksma (ruh atau nyawa) masih bersatu dengan jasmani atau badan, maka
sifat baik dan buruk tetap ada pada diri manusia. Bila sudah menjadi mayat,
maka suksma (ruh atau nyawa) akan pergi dan disanalah akan diminta
pertanggungan jawab tentang pilihan yang diambil diwaktu hidup. Apakah yang
baik atau buruk. Semua yang berasal dari Tuhan akan kembali ke Tuhan pula
(konsep sangkan paraning dumadi, asal muasal kehidupan dan akhir dari kehidupan
itu)
2.
Walaupun selaku manusia kita telah berusaha secara maksimal, yaitu dengan mengerahkan segala
potensi yang kita miliki baik lahir maupun batin, Tuhan YME lah yang menjadi penentu segalanya. Kita berserah diri
dan percaya bahwa itu adalah yang
terbaik buat kita.
"Guru muride dewe, murid guruning pribadi, pamulange sangsaraning
sesami. Sugih tanpa bandha, nglurug tanpa bala, digdaya tanpa aji, menang tan
ngasorake lan weh-weh tanpa kilangan ". Konsep ini berasal dari Dr. RM
Sosro Kartono, yang juga dikenal sebagai guru spiritual dari Bung Karno dan
adik kandung dari RA Kartini.
Adapun makna dari konsep ini adalah:
1.
Guru muride dewe, murid guruning pribadi, pamulange
sangsaraning sesami.
a.
Sebelum menjadi guru orang lain, jadilah guru diri kita
sendiri. Guru itu selalu diikuti, didengar atau dilihat oleh muridnya, tapi
sebelum mengikuti, mendengar atau melihat orang lain, maka ikutilah, dengarkanlah dan lihatlah diri sendiri
terlebih dahulu. Saat kita tidak
mengikuti, mendengar ataupun melihat orang lain, kita akan merasa kesepian,
kesendirian dan ketakutan. Kenapa kita takut dalam kesendirian?, karena kita
akan berhadapan dengan diri kita yang apa adanya, yaitu hampa, tumpul, bodoh,
buruk, bersalah dan gelisah. Suatu kesatuan yang remeh, buruk dan rongsokan.
Pandanglah kenyataan ini dan jangan lari darinya. Saat kita lari, akan muncul rasa ketakutan yang amat
sangat. Tubuh manusia itu berawal dari
lendir yang menjijikan, kemana-mana membawa kotoran dan berakhir menjadi
bangkai. Kenapa harus sombong dan tidak segera berserah diri kepada Tuhan YME ?
b.
Secara inti,
ajaran ini mengajak untuk
introspeksi dan mawas diri bahwa tubuh manusia itu sebenarnya sangat lemah dan
tak berdaya. Ajaran ini ditutup dengan kalimat agar tidak sombong dan segera
berserah diri pada Tuhan YME.
2.
Sugih tanpa bandha, nglurug tanpa bala, digdaya tanpa
aji, menang tan ngasorake lan weh-weh tanpa kilangan.
a.
Apa yang sudah Tuhan YME berikan kepada kita sudah
sedemikian besar, seperti halnya kesehatan, kepandaian, kebahagiaan,
kewaspadaan, keluarga, sahabat dan
lainnya, itulah kekayaan yang tak ternilai harganya. Kemenangan sejati adalah
mengalahkan diri sendiri dengan cara
mengendalikan diri dari segala lingkaran nafsu yang menyesatkan. Bertindaklah
seperti seorang guru, walaupun setiap hari memberikan ilmu yang bermanfaat
kepada anak muridnya, sang guru malah bertambah pintar.
b.
Dalam ajaran, terdapat 4 nafsu manusia yang harus
dikendalikan oleh rasa atau hati nurani, yaitu:
1.
Aluamah, yaitu nafsu yang menyebabkan manusia mempunyai
rasa lapar, haus,ngantuk, malas dan lainnya.
2.
Amarah, yaitu nafsu yang menyebabkan manusia bisa marah,
iri, dengki dan lainnya.
3.
Mutmainah, yaitu nafsu yang menyebabkan manusia menjadi
tamak, srakah, kikir, mementingkan diri sendiri dan lainnya.
4.
Sopiah, yaitu nafsu yang menyebabkan manusia mempunyai
sifat ingin memiliki, ingin senang, ingin indah, ingin enak dan lainnya.
c.
Nglurug tanpa bala, digdaya tanpa aji, menang tan
ngasorake juga bisa diartikan untuk menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan
masalah baru. Karena itu, disarankan untuk selalu berpikir secara matang
sebelum bertindak dan mengadakan evaluasi secara terus menerus.
d.
Secara inti terlihat adanya ajaran untuk selalu eling
dengan melakukan kontrol dan
kendali terhadap “sedulur papat” (nafsu
manusia). Disamping itu, juga ada
perintah untuk selalu membantu yang lemah.
3.
Dalam konsep ini, guru disebut beberapa kali dan secara lahiriah guru mempunyai tugas
untuk mengajar ilmu yang bermanfaat.
Guru mempunyai tugas untuk merencanakan, mempersiapkan, melaksanakan dan
mengevaluasi hasil. Disamping itu, guru
juga membutuhkan adanya sarana dan prasarana pendidikan.
4.
Secara umum pola ini mengajarkan manusia untuk
introspeksi secara lahir dan batin. Secara lahiriah, manusia itu sangat lemah
sehingga sangat membutuhkan Tuhan YME; Dan secara batiniah, manusia harus bisa mengendalikan 4
sifat nafsu yang bisa menyesatkan (Gambar-7).
Gambar-7
Konsep Menang Tanpa
Ngasorake
2.3 Konsep Eling Lan Waspada
Kalimat eling lan waspada sebenarnya berasal dari cuplikan
Serat Kalatida yang ditulis oleh
oleh pujangga kraton Surakarta Raden Ngabehi
Ronggowarsito (15 Maret 1802 s/d 24 Desember 1873), tetapi ada juga yang
mengatakan bahwa ini merupakan karya sastra dari Prabu Joyoboyo selaku raja
di-Kediri (Anjar Any, 1989: 12)
Adapun petikan Serat Kalatida yang dimaksud adalah sebagai berikut
“..Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Milu edan nora tahan, Yen tan
melu anglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun, Ndilalah karsa Allah,
Begja-begjane kang lali, Luwih begja kang eling lawan waspada...” Terjemahan
bebasnya adalah: “Hidup didalam jaman
edan, memang repot. Akan mengikuti tidak sampai hati, tapi kalau tidak
mengikuti geraknya jaman tidak akan mendapat apapun juga. Akhirnya dapat
menderita kelaparan. Namun sudah menjadi kehendak Tuhan. Bagaimanapun juga,
sebahagianya orang yang lupa, masih lebih bahagia orang yang senantiasa ingat
dan waspada”
Kalimat “luwih begja kang eling
lawan waspada” pada bait terakhir serat kalatida diatas, dapat diartikan
sebagai:
1.
Sebagai makhluk Tuhan, kita diminta untuk senantiasa
eling ataupun mengingat akan ajaran dan
larangan Tuhan. Apa yang menjadi ajaran-Nya kita jalankan dengan sepenuh hati,
dan disamping itu kita juga meninggalkan apa yang menjadi larangan Nya. Dengan
perilaku yang selalu eling ataupun ingat
tersebut, maka Tuhan akan memberikan pelbagai petunjuk tentang apa yang
harus kita lakukan secara baik dan benar, dan inilah yang dimaksud dengan
kalimat “luwih begja kang eling lawan waspada”. Petunjuk yang datang dari Tuhan
bisa berujut adanya suatu pemikiran yang cerdas untuk mengatasi pelbagai
kesulitan ataupun hambatan, keberanian
ataupun ketabahan dalam menghadapi pelbagai cobaan, kedewasaan dalam berpikir,
kesehatan yang prima, keluarga yang sejahtera dan bahagia dan masih banyak
lagi.
2.
Sebagai makhluk sosial, kita diminta untuk bisa eling
ataupun menempatkan diri terhadap sesama manusia. Karena selain bisa bertindak
atas nama diri sendiri, kita juga merupakan bagian dari keluarga, bagian dari
masyarakat, bagian dari suatu negara,
dan bagian dari warga dunia. Dengan perilaku tersebut, kita akan menghargai hak
dan kewajiban masing-masing orang
Secara umum, bahwa konsep ini menekankan
adanya dua dimensi yang sama kuat, yaitu dimensi Ke Tuhanan dan dimensi
Kemanusiaan yang harus dikerahkan secara bersama agar dicapai hasil yang
maksimal (Gambar-8).
Gambar-8
Konsep Eling Lan Waspada
2.4 Konsep Mencari Rejeki
Untuk mencari rejeki, masyarakat Jawa menganjurkan agar “ojo sare sore-sore
lan yen wungu ojo nganti kedisikan srengenge utowo manuk, tumindako sing jujur”
. Tidur diatas jam 24.00 dan bangun sebelum terbit fajar merupakan saran yang
utama, disamping itu juga ada anjuran agar berbuat jujur.
Tentunya banyak hal yang bisa kita perbuat dengan waktu yang sedemikian
panjang. Selain dapat merenungkan
tentang rencana dan pelaksanaan pekerjaan, kita juga dapat merenung tentang alam dan pencipta Nya. Apa
yang sudah kita lakukan sepanjang hari, apakah ada yang salah dan harus
dikoreksi ataukah ada yang harus ditingkatkan, bagaimana hubungan kita dengan
sesama karyawan ataupun pelanggan,
bagaimana dengan persoalan-persoalan yang belum dapat diselesaikan dan
masih banyak lagi. Dalam kepenatan berpikir tentang pekerjaan, kita bisa
beristirahat dengan mengingat akan kebesaran dan keagungan Tuhan. Bahwa Tuhan adalah maha segala-galanya; Maha
Pengasih, Maha Penyayang, Maha Suci, Maha Keslamatan, Maha Mengamankan, Maha Merawat, Maha Gagah,
Maha Perkasa, Maha Besar, Maha Pencipta, Maha Pengampun, Maha Mendengar, Maha
Melihat, Maha Adil dan lainnya lagi. Dengan mengingat akan kebesaran-kebesaran
Tuhan tersebut, maka hati dan pikiran akan menjadi sejuk dan kita kemudian bisa
melanjutkan untuk merenung tentang rencana dan pelaksanaan pekerjaan.
3. Budaya Sebagai Gambaran
Kehidupan
Masyarakat Jawa sangat menggemari wayang, karena bagi masyarakat Jawa wayang merupakan
gambaran ataupun potret kehidupan manusia sehari-hari. Wayang berasal dari kata
ayang atau bayang-bayang. Dalam cerita wayang banyak dilukiskan bahwa yang
tidak eling lan waspada akan menemui kehancurannya. Hal ini bisa terlihat:
1.
Dalam episode Arjuna Sosrobahu, Raden Sumantri sang patih
yang gagah perkasa harus menemui ajal ketika melawan Rahwono. Ajal ini sesuai
dengan “kutukan” yang berasal dari adiknya sendiri, Sukrasana yang mati dibunuh oleh R. Sumantri.
Ia dibunuh karena R. Sumantri merasa
malu mempunyai adik yang buruk muka dan berasal dari desa.
2.
Dalam episode Ramayana, Kerajaan Alengka dengan Prabu
Rahwana sebagai raja, habis ditumpas oleh Sri-Rama. Kerajaan Alengka ditumpas
karena Prabu Rahwana menculik istri Sri Rama, yaitu Dewi Sinta.
3.
Dalam episode Ramayana, Sri Rama termakan hasutan, isu
dan adu domba dan akhirnya menyuruh Dewi Sinta Untuk membakar diri. Walaupun
akhirnya selamat dari api, tetapi hasutan, isu dan adu domba masih terus
menyelimuti. Dewi Sinta tidak tahan dan akhirnya pergi kehutan dan melahirkan
bayi kembar. Hidup dihutan selama 14 tahun, dan sang anak kembar akhirnya
membunuh Sri Rama.
4.
Dalam episode Mahabarata, Yudistiro yang dikenal jujur
ternyata juga bisa tidak eling dan berani main dadu dengan mempertaruhkan sang
istri, keempat orang adiknya serta kerajaan Indraprasta seisinya. Yudistiro kalah main dadu dan sebagai
konsekwensi harus dibuang dihutan selama 13 tahun dan ini merupakan awal dari
perang Bharatayudha
5.
Dalam episode Mahabarta, Hastinopura yang dipimpin Prabu
Suyudono juga habis ditumpas Pandawa karena ingkar dalam perjanjian.
6.
Dalam episode Mahabarata, walaupun pihak pendawa
mengalami kemenangan dalam peperangan, tetapi seluruh anak dan istrinya mati
terbunuh.
7.
dan masih banyak lagi
Dalam konsep kepemimpinan di-Indonesia, tergambar bahwa
para Presiden di-Indonesia mungkin juga banyak yang tidak eling lan waspada sehingga
harus mengalami nasib yang tidak enak, yaitu diturunkan sebelum habis masa
jabatannya.